Senin, 16 Desember 2013

HADIS TENTANG LARANGAN MENIPU DALAM JUAL BELI



و حَدَّثَنِي يَحْيَى بْنُ أَيُّوبَ وَقُتَيْبَةُ وَابْنُ حُجْرٍ جَمِيعًا عَنْ إِسْمَعِيلَ بْنِ جَعْفَرٍ قَالَ ابْنُ أَيُّوبَ حَدَّثَنَا إِسْمَعِيلُ قَالَ أَخْبَرَنِي الْعَلَاءُ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَرَّ عَلَى صُبْرَةِ طَعَامٍ فَأَدْخَلَ يَدَهُ فِيهَا فَنَالَتْ أَصَابِعُهُ بَلَلًا فَقَالَ مَا هَذَا يَا صَاحِبَ الطَّعَامِ قَالَ أَصَابَتْهُ السَّمَاءُ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أَفَلَا جَعَلْتَهُ فَوْقَ الطَّعَامِ كَيْ يَرَاهُ النَّاسُ مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي (روه مسلم)
صحيح مسلم , كتاب الإيمان,باب قَوْلِ النَّبِىِّ - صلى الله تعالى عليه وسلم - « مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا ».
Artinya : Dan telah menceritakan kepada kami Yahya bin Ayyub dan Qutaibah serta Ibnu Hujr semuanya dari Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub berkata, telah menceritakan kepada kami Ismail dia berkata, telah mengabarkan kepadaku al-Ala' dari bapaknya dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah melewati setumpuk makanan, lalu beliau memasukkan tangannya ke dalamnya, kemudian tangan beliau menyentuh sesuatu yang basah, maka pun beliau bertanya: "Apa ini wahai pemilik makanan?" sang pemiliknya menjawab, "Makanan tersebut terkena air hujan wahai Rasulullah." Beliau bersabda: ‘’ Mengapa engkau tidak meletakkan bagian yang basah ini di atas hingga manusia dapat melihatnya? Siapa yang menipu maka ia bukan dariku’.” (HR. Muslim).

A.    STATUS HADIS
1.      Segi Kualitas
Hadits ini tergolong hadits shahih, karena sanadnya marfu’ (bersambung sampai kepada Rasulullah) dan diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Abu Hurairah. Hadis dengan matan yang sama maksudnya, sekalipun berbeda lafalnya. Di riwayatkan pula oleh dalam Sunan-nya no. 1315, Kitab Al-Buyu’, bab Ma Ja`a fi Karahiyatil Ghisy fil Buyu’, dan selainnya.
Dalam riwayat Abu Dawud dalam Sunan-nya no. 3452, Kitab Al-Buyu’, bab An-Nahyu ‘anil Ghisy disebutkan dengan lafadz:
“Rasulullah SAW melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka Rasulullah n bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.” (Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani t dalam Shahih Sunan Abi Dawud, Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1765).[1]
2.      Segi kuantitas
Hadits serupa juga diriwayatkan dari Umar, Abu Al Hamra`, Ibnu Abbas, Abu Burdah bin Niyar dan Hudzaifah bin Al Yaman. Abu Isa berkata; Hadits Abu Hurairah adalah hadits hasan shahih dan menjadi pedoman amal menurut para ulama. Syeh Albani juga berkomentar bahwa hadist ini juga berstatus shahih.
Perawi-perawi nya ialah Yahya bin Ayyub,Qutaibah Ibnu Hujr, Ismail bin Ja'far, Ibnu Ayyub, Ismail , al-Ala' , Abu Hurairahialah Abu Isa berkata dalam Sunan At-Tirmidzi: "Hadits ini derajatnya hasan shahih, dan sebagian ahli ilmu beramal dengan hadits ini.” Dalam bab ini juga ada riwayat dari Abdullah bin Mas'ud, Ibnu Abbas dan Watsilah bin Al Asqa'. Syekh Al-Albani dalam Sunan an-Nasa’i memberikan status shahih pada hadits ini.
3.      Dalam software mausu’at al hadits al sharif: al-Kutub al -Tis’ah, sanad hadits di atas bersambung kepada Rasulullah dan perawi-perawinya memiliki tingkatan ثقة atau   ثبت (terpercaya/teguh).

B.     REDAKSI KATA HADIS
1.      غَشَّ: (Ghisy) berarti menipu atau curang. Kata ini tentu bermakna sangat umum, sehingga meliputi segala bentuk penipuan atau kecurangan dalam akad jual beli, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, gadai atau muamalah lainnya. Contoh konkretnya adalah apa yang terjadi di zaman Rasulullah SAW sebagaimana tersebut dalam hadits Abu Hurairah diatas.
2.      مَنْ غَشَّ فَلَيْسَ مِنِّي: ”Siapa yang menipu maka ia bukan dariku”. Dalam lafadz lain disebutkan dengan lafadz:
مَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا وَالْمَكْرُ وَالْخِدَاعُ فِي النَّارِ: “Barangsiapa yang berbuat curang kepada kami maka dia bukan dari golongan kami, dan makar serta penipuan itu di neraka.”
“Rasulullah SAW,  melewati seseorang yang sedang berjualan makanan. Beliau pun bertanya kepada penjual tersebut: ‘Bagai-mana engkau berjualan?’ Penjual itu lalu mengabarkan kepada beliau. Lalu Allah mewahyukan kepada beliau: ‘Masukkanlah tanganmu ke dalam tumpukan makanan yang dijual pedagang tersebut.’ Ketika beliau melakukannya, ternyata beliau dapatkan bagian bawah/bagian dalam makanan tersebut basah. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Bukan termasuk golongan kami orang yang menipu.” (Hasan Shahih, HR. At-Thabarani dalam kitab Mu’jam Al-Kabir dan Ash-Shaghir dengan sanad yang bagus dan Ibnu Hibban dalam kitab Shahih-nya. Lihat Shahih At-Targhib, 2/159 no. 1768)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ حَمَلَ عَلَيْنَا السِّلَاحَ فَلَيْسَ مِنَّا وَمَنْ غَشَّنَا فَلَيْسَ مِنَّا“Barangsiapa yang mengarah senjata kepada kami maka dia bukan dari golongan kami. Dan barangsiapa yang menipu kami, maka dia bukan golongan kami.” (HR. Muslim no. 101)
Dari Tamim bin Aus Ad-Dari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّينُ النَّصِيحَةُ قُلْنَا لِمَنْ قَالَ لِلَّهِ وَلِكِتَابِهِ وَلِرَسُولِهِ وَلِأَئِمَّةِ الْمُسْلِمِينَ وَعَامَّتِهِمْ
“Agama itu adalah nasihat.” Kami bertanya, “Nasihat untuk siapa?” Beliau menjawab, “Untuk Allah, kitab-Nya, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin, serta masyarakat umum di antara mereka.” (HR. Muslim no. 55)
3.      Dalam An-Nihayah fi Gharibil Hadits disebutkan makna lafadz adalah bukan termasuk akhlak kami, bukan pula sunnah kami. Al-Imam An-Nawawi t menyebutkan bahwa ada yang memaknakan dengan makna orang yang berbuat demikian ia tidak berada di atas perjalanan hidup kami yang sempurna dan petunjuk kami. Namun Sufyan bin ‘Uyainah t membenci ucapan orang yang menafsirkannya dengan: “Tidak di atas petunjuk kami.” Beliau memaksudkan hal ini agar kita menahan diri dari mentakwil/menafsirkan lafadz tersebut, dan membiarkan apa adanya agar lebih masuk/menghunjam ke dalam jiwa dan lebih tajam dalam memberikan cercaan atas perbuatan tersebut. (Al-Minhaj Syarhu Shahih Muslim, 2/291)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Tai-miyyah, beliau memiliki ucapan yang masyhur tentang hal ini: “Tidak mengapa dijatuhkan padanya ancaman jika memang terkumpul syarat-syarat dan tidak ada faktor-faktor yang menghalanginya.”

C.     PELAJARAN DARI HADITS
a.       Kita bisa tau bagaimana cara penyaluran barang dengan baik,tidak boleh ada unsur penipuan di dalamnya. 
b.      Demikian pulahlah muncul kejujuran dalam proses jual beli.
c.       Menciptakan rasa keadilan.
d.      Mengetahui larangan dan perintah yang telah di syariatkan.
e.       Akan timbul rasa Tangggung jawab di dalam jiwa para penjual dan pembeli.
f.       Menjalangkan syariat islam.
g.      Menciptakan persaingan yang sehat di dalam jual beli.
h.      Bisa menjalankan sunahrasul.
i.        Hadist di atas menunjukkan larangan jual beli yang mengandung penipuan dan larangan tersebut menuntut hukum haram dari rusaknya akad.
Islam mengharamkan penipuan dalam semua aktifitas manusia, termasuk dalam kegiatan bisnis dan jual beli. Memberikan penjelasan dan informasi yang tidak benar, mencampur barang yang baik dengan yang buruk, menunjukkan contoh barang yang baik dan menyembunyikan yang tidak baik. Penipuan ini berakibat merugikan pihak pembeli.
Maka Islam sangat mengecam penipuan dalam bentuk apapun dalam berbisnis. Lebih jauh lagi barang yang hendak dijual harus dijelaskan kekuarangan dan cacatnya. Jika menyembunyikannya, maka itu adalah kezhaliman. Padahal, jika kejujuran dalam bertransaksi di junjung tinggi dan dilaksanakan akan menciptakan kepercayaan antara pembeli dan penjual, yang akhirnya menciptakan keharmonisan dalam masyarakat.
Ingat! dalam hadits di atas Rasulullah Muhammad Saw telah dengan tegas mengatakan, bahwa perdagangan jujur akan mendapatkan keberkahan. Sedangkan, jika dalam bertransaksi dibumbui dengan ketidakjujuran, maka Rasulullah Saw menegaskan bahwa transaksi tersebut tidak akan berkah. Dalam hadits lain ia menyebutkan bahwa ‘Barang siapa yang menipu kami, bukanlah dari golongan kami (Riwayat Muslim).
Ketidakjujuran dalam bertransaksi saat ini memang sulit ditemui. Banyak kita menjumpai pedagang yang hanya mengatakan barang yang dijualnya adalah barang yang sempurna, paling bagus, yang membuat pembeli tergiur, tetapi tidak dikatakan atau dijelaskan cacatnya barang tersebut. atau promosi (penawaran) yang terjadi saat ini baik di media cetak atau elektronik (TV dan radio) hanya mengatakan keunggulan-keunggulan produk tersebut, tapi tidak pernah mengatakan kekuarangan-kekurangan dari produk tersebut.
Coba kita simak kisah seorang Ibnu Sirin, ia pernah menjual seekor kambing, kemudian dia berkata kepada si pembelinya: 'Saya akan menjelaskan kepadamu tentang ciri kambingku ini, yaitu kakinya cacat.'
Begitu juga Al-Hassan bin Shaleh pernah menjual seorang hamba perempuan (jariyah), kemudian ia berkata kepada si pembelinya: "Dia pernah mengeluarkan darah dari hidungnya satu kali."
Walaupun hanya sekali, tetapi 'jiwa seorang mu'min seperti Ibnu Sirin dan Al-Hassan bin Shaleh merasa tidak enak kalau tidak menyebutkan cacatnya itu, sekalipun berakibat menurunnya harga.
Di dalam Islam  jual beli terdapat Khiyar, Khiyar dalam jual beli terdapat tiga  bagian yakni Khiyar alghabni, Khiyar Al-Aib dan Khiyar At-Tadlis. Khiyar artinya mencari kebaikan dua perkara, yakni menjadiakan akad atau tidak menjadikannya.
-          Khiyar alghabni.
Jika terjadi penipuan dalam jual beli dengan penipuan yang keluar dari kebiasaan, yang merasa dirugikan diantara keduanya diberi hak khiyar antara tetap menahan barang yang dibeli atau mengembalikan nya .
Seseorang yang merasa rugi tidak akan senang hatinya dengan tipuan. Jika kerugian itu sangat sedikit sebagaimana yang berlaku dalam kebiasaaan, tidak ada khiyar.
-          Khiyar At-Tadlis
Yakni khiyar yang ditetapkan karena tindakan yang disebut tadlis. Tadlis adalah menunjukkan barang yang cacat seakan-akan bagus dan utuh. Kata-kata tadlis diambil dari asal kata ad-dalsah yang berarti penzaliman. Seakan-akaan penjual dengan tindakan tadlisnya itu menjadi seperti pembeli dalam kegelapan sehingga tidak bisa melihat barang dagangan dengan cara yang sempurna. Tsdlis ini ada 2 macam : menyembunyikan cacat barang dan menghiasi dan memperindah barang sehingga mendongkrak harganya.
Tadlis adalah haram dan syariaat memberikan kemudahan kepada pembeli untuk mengembalikan barang karena ia mengeluarkan hartanya untuk sesuatu yang dibeli adalah berdasarkan sifat barang yang ditunjukkan kepadanya oleh penjual. Jika ia mengetahui bahwa sebenarnya barang yang dibeli bertolak-belakang sifatnya dari yang dikatakan penjual, tentu ia akan menarik kembali harta yang ia keluarkan untuk barang itu.
-          Khiyar Al-Aib
Khiyar yang menjadi tetap pada pihak pembeli disebabkan adanya aib/cacat pada barang yang ia beli yang tidak disampaikan oleh penjual atau tidak diketahui oleh penjual. Akan tetapi jelas bahwa aib/cacat itu telah ada pada barang sejak sebelum dijual.[2]

Mudah-mudahan hal ini dapat dilaksanakan dikehidupan sehari-hari sehingga transaksi yang dilaksanakan membawa keberkahan dalam kehidupan. Dan tentunya tidak menzholimi pihak lain.

D.    DIALOG TERHADAP HADITS
Ketika Rasulullah SAW melewati sebuah pasar, beliau mendapatkan penjual makanan yang menumpuk bahan makanan-nya. Bisa jadi seperti tumpukan biji-bijian, ada yang di atas ada yang di bawah. Bahan makanan yang di atas tampak bagus, tidak ada cacat/rusaknya. Namun ketika mema-sukkan jari-jemari beliau ke dalam tumpukan bahan makanan tersebut, beliau dapatkan ada yang basah karena kehujanan (yang berarti bahan makanan itu ada yang cacat/rusak). Penjualnya meletakkannya di bagian bawah agar hanya bagian yang bagus yang dilihat pembeli. Rasulullah SAW. pun menegur perbuatan tersebut dan mengecam demikian kerasnya. Karena hal ini berarti menipu pembeli, yang akan menyangka bahwa seluruh bahan makanan itu bagus.
Sebagaimana Uqbah ibn Amir berkata :
Saya mendengar Rosulullah saw. bersabda : “Seorang muslim itu saudara bagi muslim yang lain. Dan tidak halal bagi seorang muslim menjual suatu barang kepada saudaranya sementara barang itu ada cacat/ rusaknya kecuali ia harus menerang-kannya kepada saudaranya (yang akan membeli tersebut).” (HR. Ibnu Majah no. 2246. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih Ibnu Majah dan Irwa`ul Ghalil no. 1321)
Juga sebagaimana Watsilah ra. Berkata :
Rasulullah SAW bersabda:
“Tidak halal bagi seseorang menjual barang dagangan yang ia ketahui padanya ada cacat/rusak kecuali ia beritahukan (kepada pembeli, -pent.).” (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Ath-Thabrani dalam Al-Kabir dan Al-Hakim. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani dalam Shahih At-Targhib wat Tarhib no. 1775).
Ketika dia tidak menerangkannya, berarti dia telah melakukan ghisy (penipuan) seperti yang beliau peringatkan dan beliau kecam.
Abu Hurairah ra. Menerangkan :
Rasulullah berjalan melewati seorang laki-laki yang sedang menjual makanan(gandum). Nabi memasukkan tangan nya kedalam tumpukan gandum, dan ternyata gandum itu dalam keadaan basah. Karena itu Nabi berkata ; barangsiapa mengicuh kami, maka dia bukan dari golongan kami”. (HR. Al-Jamaah, selain dari Al-Bukhary, dan An-Nasa’i; Al- Muntaqa 2: 350).
Al- Adda Ibn Khalid ibn Haudzan ra. Berkata :
“Rasulullah mengirimkan surat kepadaku yang berbunyi : Barang inilah yang dibeli oleh Al–Adda ibn Khalid ibn Haudzan dari Rasulullah. Dia membeli seorang budak laki-laki dan seorang budak perempuan, tak ada pada tubuhnya penyakit yang disembunyikan, tidak ada padanya tipuan dan perangai buruk, penjualan seorang muslim kepada seorang Muslim”. (HR. Ibnu Majah dan At-Turmudzy ; Al-Muntaqa 2 : 350)
Diriwayatkan juga oleh Ahmad, Ad-Daraquthny, Al-Hakim dan Ath – Thabarany dari Abi Syammasah. Menurut Al-Hafidz sanadnya hasan.
Hadist ini menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang, haram. Penjual wajib memberitahukannya terlebihdahulu kepada pembeli.
Hadist ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah dan Al-Hakim. Di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang diperselisihkan dan seorang perawi yang tidak dikenal.
Hadist ini menjelaskan menyembunyikan cacat barang yang kita jual, hukumnya haram.
Hadist ini diriwayatkan juga oleh Ibnul Jarud. Al-Bukhari meriwayatkannya secara muallaq. Hadist ini menyatakan bahwa memberitahukan bahwa benda yang kita jual ada cacatnya, hukumnya wajib.

Kompromi:
Seharusnya seorang mukmin menerangkan keadaan barang yang akan dijualnya, terlebih lagi apabila barang tersebut memiliki cacat ataupun aib.
Seluruh ulama sepakat menetapkan bahwa diantara kewajiban penjual, adalah memberitahukan secara jujur kondisi barang yang akan dijualnya. Dan mereka juga sepakat mengharamkan tipuhan dan kicuhan dalam berjual beli. Bahkan dalam satu hadist yang lain disebutkan , bahwa kewajiban memberitahukan perihal cacat pada barang tidak saja merupakan kewajiban penjual, namun juga merupakan kewajiban orang lain yang mengetahui kondisi barang tersebut yang sebenarnya. Dia berdosa bila mendiamkannya , karena sikapnya itu adalah haram hukumnya.[3]
Sedangkan Hadist diatas menyatakan bahwa menyembunyikan cacat barang hukumnya haram dan wajib menerangkan secara terus terang kepada pembeli.

E.     KESIMPULAN
Agama islam adalah agama yang toleran dan sangat komprehensif , selalu memperhatikan berbagai maslahat dan kondisi, menjauhkan sesuatu yang menyulitkan umat. Diantaranya apa-apa yang disyariatkan didalam jual beli berupa pemberian kesempatan memilih kepada orang yang mengadakan akad agar lebih banyak mengetahui barang yang akan dibeli dan melihat kemaslahatan dari transaksi itu. Diutamakan apa-apa yang ia pikir dibelakang akad adalah kebaikan, dan mundur dari akad jika apa-apa yang ia lihat tidak membawa maslahat baginya.
Padahal kebutuhan manusia akan kejujuran dalam kehidupan nyata adalah suatu hal yg tak terbantahkan. Jika kejujuran telah lenyap maka kehancuran tatanan hidup manusia akan hancur secara perlahan maupun cepat. Tentunya semua itu timbul dari lemahnya iman seseorang. Terutama imannya akan adanya hari kiamat yg merupakan hari perhitungan amal baik dan buruk seseorang. Hari yg merupakan saat ditegakkannya keadilan yg sesungguhnya oleh Allah Subhaanahu wa Ta’ala. Pada saat itu tidak ada satu pun yg tersembunyi dari-Nya. Kebaikan sekecil apa pun akan dibalas-Nya begitu juga keburukan sekecil apa pu akan diberi-Nya ganjarannya. Tak seorang pun dapat menghindari hisab pada hari kiamat. Percaya tidak percaya ia pasti akan menghadapinya. Pelaku kejahatan di dunia ini biasanya memang tidak takut akan hisab pada hari kiamat nanti. Mereka semakin asyik dalam dosa mereka seakan-akan tidak ada pertanggungjawaban perbuatan mereka nantinya. Mereka merasa bangga dapat menghindar dari hukum manusia yg lemah. Mereka merasa bahwa dgn terlepasnya mereka dari hukum manusia mereka telah benar-benar bebas dari tanggung jawab terhadap perbuatan mereka. Celakalah orang yg beranggapan demikian. Semoga Allah Ta’ala melindungi kita dari perbuatan dosa dan maksiat dan melindungi kita dari azab neraka yg sangat pedih.

REFERENSI
Shahih Bukhari, Shahih Muslim, dan Sunan at-Tirmidzi dalam software Maktabah Syamilah.
Al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bari: Syarah Shahih Bukhari. Terj. Abu Ihsan al-Atsari. Jakarta: Pustaka Imam Syafi’i, Jilid 8, 2010.




[1] Software hadist Mausuah Al Hadist Al Sharif
[2] Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al- Fauzan rinkasan fikih lengkap 501-508
[3]Teungku Muhammad Hasbi, Koleksi Hadits-hadits Hukum 3, (Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 2011), 315-316

Tidak ada komentar:

Posting Komentar